Judulnya memang bikin geleng-geleng kepala, tapi isinya wouw......lebih gila lagi. “Cara Menjilat dengan Elegan” bukan buku motivasi biasa. Ini bukan tentang kerja keras, strategi bisnis, atau rumus sukses ala CEO Silicon Valley. Buku ini adalah panduan sakti bagi mereka yang mengandalkan lidah lebih dari otak. Buku sakral bagi para “pekerja lidah profesional” alias, mereka yang naik jabatan bukan karena prestasi, tapi karena pujian yang disusun bak puisi.
Dan tenang saja, kalau kamu merasa tersindir, berarti kamu sadar.
Menjilat Jangan Setengah-Setengah
Bab pertama langsung menyambut pembaca dengan jurus utama: “Teknik Menjilat Sambil Senyum, Meski Hati Muak.”
Di sinilah diajarkan skill penting: tersenyum penuh ketulusan palsu sambil menyisipkan pujian kepada bos yang baru saja memotong tunjangan.
Kuncinya adalah poker face.
Mau dalam hati berteriak karena kerjaan numpuk? Diam.
Mau melempar laptop karena laporan direvisi berkali-kali? Tahan.
Tugas utamamu: jaga ekspresi, lempar senyum, dan bilang, “Saya setuju banget, Pak!”
Lidah yang adaptif lebih berharga dari otak yang kritis
Masuk ke Bab 2: “Menyesuaikan Aroma Lidah Sesuai Atasan.”
Di sini, pembaca diajarkan untuk jadi bunglon profesional. Kalau bos doyan religi, lempar kutipan ayat. Kalau bos suka bulu tangkis, jadilah komentator PBSI instan. Prinsip utamanya: Lidah yang adaptif lebih berharga dari otak yang kritis.
Jadi jangan heran kalau tiba-tiba rekan kerja yang tadinya cuek berubah jadi fans garis keras klub bola yang sama dengan bos, itu strategi, bukan loyalitas.
Bagi para pekerja keras bermodal otak, buku ini akan terasa seperti satire yang menusuk ulu hati. Tapi jangan buru-buru mencaci karena anda juga bisa tertarik karena buku ini menawarkan pelatihan “teknik jilat” untuk mereka yang ingin upgrade skill berpura-pura.
Materinya lengkap:
-
Bagaimana memuji tanpa terkesan menjilat
-
Cara menyisipkan sanjungan dalam laporan mingguan
-
Teknik menggiring obrolan ke topik favorit bos
Tapi peringatan keras disematkan di halaman awal:
“Sumpah serapah akan datang dari teman sendiri. Tapi tenang, yang penting kamu naik.”
Meski terdengar seperti parodi, isi buku ini menggarisbawahi satu kenyataan pahit di dunia kerja: yang pintar belum tentu naik, tapi yang pinter menjilat hampir pasti aman.
Sekarang menjadi hal yang biasa
Karyawan yang kerja setengah hati, tapi selalu nongkrong bareng bos saat jam makan siang. Atau yang rajin datang pagi bukan buat kerja, tapi buat pesen kopi kesukaan pimpinan. Dan entah bagaimana, nama mereka selalu ada di daftar promosi.
Antara Harga Diri dan Jabatan
Buku ini ditutup dengan kalimat yang bisa bikin ketawa getir:
“Dunia ini bukan buat yang pintar. Tapi buat yang pinter bermanis muka, nunduk-nunduk sambil membawa bingkisan, pokoknya semua benar apa kata Bos.”
Jadi... kamu pilih yang mana?
-
Tetap bertahan dengan integritas dan kerja profesional walau naik pangkat harus nunggu reinkarnasi?
-
Atau mulai mempelajari seni menjilat demi karier yang menanjak (meski hati menolak)?
Yang jelas, satu pesan penting dari buku ini:
“Jangan sampai kamu jadi korban… dari teman sendiri.”
Karena di dunia kerja yang keras dan penuh basa-basi ini, kadang yang paling tajam bukan omongan atasan, tapi lidah teman sekantor.
Buku ini (sayangnya atau syukurnya) tidak tersedia di toko buku resmi. Dicetak terbatas, mungkin karena terlalu jujur, terlalu menusuk, dan terlalu nyata. Tapi kalau kamu dapat satu, simpan baik-baik—ini bisa jadi warisan untuk generasi pekerja masa depan yang ingin naik cepat… tanpa perlu kerja keras.
Atau kalau tidak, jadikan bacaan penghibur setelah pulang kerja dengan dahi berkerut karena laporan deadline—sementara teman sebelah sudah selfie bareng bos di kantin
Selamat menjilat dengan elegan, atau tetap berjuang dengan cara yang jantan.