blog-img

SRI NINGSIH

Muhaimin S.Pd | Cerpen | 23/05/2022

“Kirman...! Cepat keluar. Atau aku dobrak pintu ini...!“ Suara penuh amarah saling bersahutan. Mereka berebut untuk segera masuk rumah.

Aku bingung, ada apa dengan mereka? Begitu marahnya, padahal aku tak melakukan apapun yang merugikan mereka.

“Hei...Kirman! Kalau kau tak mau keluar, maka kami rame-rame akan mencincangmu.“

Aku berdiri bersandar pada dinding menahan kepala yang masih terasa pusing. Imbas dari kejadian semalam sepulang dari kerja, saat hari mulai gelap, jalan yang aku lalui nampak lengang dari lalu-lalang warga. Biasanya orang kampung menganggap pergantian siang menjelang malam adalah waktu dimana lelembut, setan, gendruwo, dan kuntilanak berkeliaraan. Karena takut, mereka lebih baik berdiam diri di rumah. Itu yang membuat jalan lengang dan sepi.

Jalanan yang gelap tanpa penerangan, membuat motor yang aku naiki berjalan pelan dan “hup...” jantung ini seakan berhenti. Di depan, menghadang seekor babi besar. Matanya merah menatap tajam ke arahku. Beberapa kali mata ini aku pejamkan. “Ini babi beneran atau hanya halusinasi saja?“ Dan nyatanya benar, babi itu semakin mendekat, dan aku tak bisa berbuat apapun. Kaki seperti terpaku dan “braaaks” dengan cepat kepala babi akan menghantam tubuh. Aku pejamkan mata, pasrah. Kalau saat ini Tuhan mau mengambilku kembali dengan jalan diseruduk babi, biarlah.

Sesaat aku tak sadar apa yang terjadi. Perlahan aku buka mata, tampak di depanku seekor babi telah mati berlumuran darah dengan perut robek sampai bagian dalamnya keluar.

“Apa yang terjadi?“ Tangan kananku berlumuran darah dengan pisau hitam pemberian Sriningsih masih aku genggam. Aku tak tahu, yang jelas nyawaku masih ada. Tuhan belum berkehendak untuk mengambilku kembali. Dengan cepat kurapikan baju yang acak-acakan. Kuselipkan kembali pisau di dalam pinggang, aku tidak mau berpikir apapun tentang kejadian ini. Semua gelap.

“Kirman, kau telah membunuh Darso tadi malam.“ ucap salah seorang dari luar rumah.

Membunuh Darso? Apalagi ini? Semalam aku tidak keluar kemana-mana habis dari kerja masuk rumah, mandi dan langsung istirahat di kamar. Biar semuanya jelas dan yakin aku tidak melakukan pembunuhan, akan aku hadapi mereka. “Nanti juga mereka mengerti bukan aku yang membunuh lek Darso,” gumamku.

“Dobrak saja pintunya kang, kita sudah sabar menunggu. “Aku kenal suara itu, Basir teman mainku semasa kecil. Kenapa dia seemosi itu?

Aku buka pintu rumah perlahan. Di depan rumah banyak sekali orang dengan menggenggam senjata mereka masing-masing, sabit, golok, pisau, linggis. Nampak sekali mereka memendam kebencian. Kalau tidak ada lek Kasim barangkali mereka sudah main hakim sendiri.

“Kirman, Darso mati, dan kau yang membunuhnya...“ lek Kasim memandangku tajam dengan suaranya yang keras membuatku gagap, tertunduk. Tuduhan ini nyatanya bukan main-main.

“Sudah kang, tidak usah terlalu lama. Nyawa bayar nyawa....“

“Kalau tidak ada yang mulai, biar aku yang maju duluan...“ terdengar suara yang lain penuh emosi.

“Aku akan membalas kematian yang sama, Kirman...!!” sambungnya.

Mereka saling berebut ingin segera menyelesaikan dengan cara mereka. Dan aku pasrah apapun yang terjadi, karena bukan aku yang membunuhnya. Tapi aku tak tahu mengapa mereka yakin bahwa aku yang membunuh Lek Darso.

Lek Kasim, bukan aku pembunuhnya...“ suaraku tertahan antara ingin menyampaikan dan keniscayaan untuk diterima. Alasan apapun yang akan aku sampaikan, akan mentah menghadapi mereka yang sangat emosional. Aku hanya pasrah pada keadaan.

“Tadi malam, yu Darsih melihatmu pulang kerja dengan baju berlumuran darah,“ kata lek Kasim.

Apakah harus aku ceritakan apa yang terjadi? Sepertinya Lek Kasim dan teman-temannya tidak akan percaya dan menganggap bahwa itu alasan saja.

“Mengapa kita berlama-lama, aku yang akan memulainya...“ Dengan golok terhunus Basir berjalan cepat kearahku. Lek Kasim yang berusaha mencegahnya, ia perlahan menepi takut terkena sabetan goloknya.

Aku masih tetap berdiri pasrah. Apapun yang terjadi, biarlah. Kalaulah memang aku harus mati di tangan mereka dan itu dianggap menyelesaikan masalah, aku terima.

“Ini balasan dari kang Darso yang kau bunuh...“ Ayunan golok tepat diarahkan ke kepalaku. Aku tetap pasrah, barangkali memang benar aku yang membunuh Darso dan sudah selayaknya aku mati ditangan mereka. Kejadian semalam masih jelas saat babi menyeruduk dan aku pejamkan mata sehingga tak tahu apa yang terjadi. Saat ini aku akan menerima kematianku dengan mata terbuka, ketenangan hati menanti mati saat golok menghantam kepala.

“Aduh....braksss....boum....“Suara Basir kesakitan. Tubuhnya terlempar dan jatuh menghempas di tanah dengan keras. Mereka saling memandang. Apa yang terjadi pada Basir tidak ada yang tahu. Tangan Basir yang menghujamkan golok ke arah kepalaku tertahan tiba-tiba tubuhnya terlempar, terhempas keras ke tanah. Suasana menjadi sangat hening. Hanya suara erangan kesakitan Basir yang terdengar sangat keras. Ada dorongan hati untuk segera membantu Basir yang diam tak bisa bergerak. Saat aku berjalan kearahnya, semua was-was mereka mengira aku marah. Termasuk Basir, tatapan matanya penuh ketakutan.

“Maafkan aku, bukan kehendakku kamu sampai terlempar,“ ucapku pelan.

Basir terus menatap seakan tidak percaya yang aku katakan. Beberapa bagian tubuh Basir tampak memar karena benturan. Dan mungkin beberapa tulangnya bergeser, sehingga terasa nyeri tak bisa digerakkan. Dibeberapa bagian tubuh yang sakit, aku usap dan kupijat sebisaku. Paling tidak ini bisa memberikan ketenangan dan pengaruh positif, bahwa aku benar-benar tidak ingin mencelakainya.

“Terimakasih Kirman. Mengapa orang sebaik kamu bisa membunuh? Tak masuk akal kalau kau pembunuh, tentunya kau juga akan membunuhku juga.“ ujarnya sambil menahan rasa sakit yang masih terasa.

Aku tersenyum, semoga kejadian ini membuat mereka tak curiga lagi bahwa aku yang membunuh Darso.

“Kirman, untuk kali ini aku tak bisa melakukan apapun terhadapmu. Sampai nanti ada bukti siapa sebenarnya yang membunuh Darso,“ ucap lek Kasim sambil mengajak semua teman-temannya meninggalkanku sendirian.

Sementara aku masih berdiri membayangkan keanehan apa lagi yang akan terjadi. Tadi benar-benar terlihat, saat golok Basir tepat akan menyentuh kepala, sosok Sriningsih datang dengan cepat menahan golok dan melempar Basir sampai terhempas keras ke tanah.

“Siapa Sriningsih?” gumamku. Pikiran itu terus membayang, wanita ayu yang aku kenal saat pulang kerja lepas sore menjelang malam. Saat jalanan begitu sepi, remang-remang. Di depan ada seorang wanita berjalan sendiri, dan tanpa pikir panjang aku tawarkan tumpangan. Karena memang searah, dan membantu orang tak ada salahnya.

“Rumahku di desa depan situ, kalau rumah mbak dimana, dan aku harus ngantar sampai mana? Aku membuka pembicaraan setelah beberapa saat hening dengan pikiran masing-masing.

“Kita satu desa hanya beda dukuh saja. Nanti saat mas Kirman belok kanan menuju rumah, aku berhenti disitu.“

“Aneh... darimana dia tahu namaku?” Baru kali ini aku kenal dan ketemu.

“Kenapa, mas Kirman? Ada yang aneh aku sudah kenal mas Kirman lama, hanya mas saja yang sibuk bekerja sehingga tidak merasa diperhatikan.“

Dia bisa mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Barangkali benar juga, aku selalu sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bahwa ada wanita cantik di desaku.

“Kamu sudah tahu namaku, tapi aku belum tahu siapa kamu. Nanti kalau ketemu terus aku memanggilnya....?“ Belum selesai aku bicara langsung ia potong.

“Namaku Sriningsih. Kita sudah sampai aku turun di sini.”

Aku berhenti dipertigaan jalan. Belok ke kiri ke rumahku, kalau lurus ke dukuh sebelah. Mungkin rumah Sriningsih masih lurus pikir ku.

“Mas Kirman hati-hati, ya,“ ucap Sriningsih dengan senyum manis, sungguh menghipnotis membuat hati berdesir-desir nyeri.

“Ini mas aku beri sesuatu, dan benda ini harus selalu dibawa. Sekarang ini banyak orang jahat, kadang-kadang kelihatannya saja baik, e.... tahunya punya maksud jahat.“ Sriningsih menyerahkan ke tanganku sebuah pisau kecil berwarna hitam pekat. Ada dorongan kuat aku harus menerima benda itu. Padahal selama ini tak pernah sekalipun aku membawa benda-benda seperti itu. Untuk apa, lagian orang yang aku kenal baik-baik semua.

“Sudah mas sana pulang, istirahat. Kerja seharian kan capek.“ Suarannya lembut menyisir ujung-ujung pembuluh hati. Jantung pun berdetak tak karuan.

Begitulah awal mula aku kenal dengan Sriningsih. Sejak itu, setiap kali Sriningsih bisa muncul kapan saja, dimana saja menemani aku dalam kesendirian. Kejadian-kejadian aneh yang aku alami tersisir oleh angin pagi yang menyapa mengajak untuk segera beraktifitas. Sejak kenal dengan Sriningsih, tak ada sedikit pun perasaan was-was, takut atau capek. Sepertinya hari selalu menyenangkan untuk dilakoni.

***

“Kirman... Yu Darsih tiba-tiba lumpuh, selalu memanggil kamu sambil terus minta maaf.“

Yu Darsih sakit sejak kapan? Rasanya baru kemarin aku ketemu. Memanggilku, minta maaf?” sungguh aneh. Aku tak melakukan apapun apalagi terhadap yu Darsih.

“Cepat Kirman, hanya kamu yang bisa menolongnya. Katanya dia kuwalat telah menfitnah kamu sebagai pembunuh kang Darso,” Basir menarik tanganku setengah berlari menuju rumah yu Darsih.

Sudah banyak orang berkumpul di rumah yu Darsih. Dari dalam rumah terdengar jelas suara yu Darsih yang selalu memanggilku. “Kirman, maafkan aku. Tolong aku, sakiiit....“ Terus kata- kata itu diulangnya.

“Kena tulahnya sendiri, dia nuduh orang sembarangan...“ Kudengar celetuk warga yang ada di rumah itu.

“Makanya hati-hati kalau bicara.“ Beberapa ibu-ibu terus menyalahkan yu Darsih. Aku tersenyum kecut mendengarnya.

“Permisi... maaf beri aku jalan.“ Beberapa orang langsung menyisih memberiku jalan menuju tempat yu Darsih yang diam terpaku di tempat tidur. Yu Darsih matanya langsung berbinar gembira menatap penuh harap.

“Kirman, bantu yu Darsih, obati dia. Karena tulahnya dia kena penyakit lumpuh, hanya kamu yang bisa mengobati.“ Kang Kasim menepuk pundakku seolah meminta agar aku segera mengobati yu Darsih.

Apa yang harus aku lakukan? Sama sekali tak kumengerti ilmu pengobatan. Semuanya diluar kendali.

“Ayo cepat Kirman, nunggu apa lagi? Dia sudah minta maaf.“

“Ya, kang. Aku juga sudah memaafkanya. Untuk mengobati yu Darsih aku perlu air garam untuk membasuh kaki dan tangannya.“ Sekenanya aku berucap untuk menyembunyikan kegundahan. Apa yang aku minta sudah disiapkan air garam satu ember.

Tiba-tiba desiran lembut angin menyapu kepalaku perlahan, mataku terpejam. Dan terlihat jelas yu Darsih kaki dan tanganya terikat kuat dengan akar-akar pohon. Dengan perlahan ikatan pada kaki dan tangan yu Darsih aku buka sampai semua ikatan terlepas.

“Terimakasih kang Kirman. Kau mau datang dan mengobati. Sekali lagi aku minta maaf,“ tangan yu Darsih memegang kakiku dengan kuat. Sepertinya dia benar-benar menyesal dengan apa yang telah dia lakukan.

“Kirman, hebat kamu sekarang. Hanya dengan air garam kamu usapkan pada kaki dan tangan, langsung sembuh.“ Lek Kasim takjub melihat caraku mengobati yu Darsih yang dilihatnya hanya dengan air garam. Ada rasa sungkan berlama – lama di rumah Yu Darsih setelah semua beres akupun segera pamit untuk berangkat keja.

***

Kehidupan bagaikan aliran sungai yang terus mengalir. Tak tahu dimana muara yang akan menuntaskan seluruh permasalahan. Peristiwa yang dialami oleh seseorang kadang membuat dirinya mengikuti dan menikmati. Aku yang dari orang biasa, tiba-tiba menjadi mumpuni kebal senjata. Bisa mengobati orang sakit hanya bisa mengikuti alur, dan kadang menikmati dengan kelebihan yang tiba-tiba ada pada diriku.

Malam semakin larut, lengang, dan hanya nyanyian angin malam yang meruntuhkan daun. Seolah berbisik seraya menusukkan dinginnya ke tulang sumsumku. Mata ini juga enggan terpejam, ada sekelebat bayangan wajah ayu yang selalu melekat erat dalam pikiranku. “Aku jatuh cinta pada sosok yang aku tak tau keberadaannya” pikirku.

***

 

Sepulang kerja aku berjalan menyusuri tepian kampung. Seolah ada hasrat yang mengajakku untuk menyusuri jalan hingga sampai pada rumah yu Darsih. Dan firasatku ternyata benar, aku mendengar ada kejanggalan dari rumah yu Darsih. Seperti ada suara minta tolong tapi tidak begitu jelas. Hati ini tergerak untuk masuk ke rumah yu Darsih. Kubuka pintu dan kucari suara minta tolong. Mataku terbelalak kaget. Aneh, ada ular yang sangat besar sedang melilit tubuh yu Darsih.

 “Tenang yu.... Dari mana masuknya ular ini?” Kataku sembari tak habis pikir.

Ular itu kemudian berbalik menatapku seolah hendak memangsaku. “Braaaks” ular itu menyerangku. Mataku terpejam dan untuk kedua kalinya aku tak sadar apa yang terjadi. Tiba-tiba ular itu sudah mati berlumuran darah. Entah apa yang aku lakukan hingga ular itu mati dengan bagian perut robek. Tangan kananku menggenggam pisau hitam pemberian Sriningsih.

Yu Darsih menjerit histeris. Sembari merapikan bajuku yang agak koyak, aku ternganga. Kulihat Busro telah mati tergeletak dengan berlumuran darah bagian perutnya.

“Aneh sekali, tadi aku melihatnya seekor ular besar yu,” ucapku kepada yu Darsih. Entah yu Darsih percaya atau tidak dengan ucapanku.

“Kirman... Busro telah mati. Dia hendak memperkosaku tadi.” Ucap yu Darsih dengan isakan tangis. Ternyata yang mati bukanlah seekor ular besar, melainkan Busro tetangga satu kampung yang hendak memperkosa yu Darsih. Ke ayuan yu Darsih dan kesendirian karena suaminya bekerja diluar kota sampai malam dimanfaatkan oleh Busro untuk berbuat tidak senonoh.

“Kirman cepat kau pergi dari sini, biarlah aku yang bertanggung jawab atas kematian Busro,” kata yu Darsih.

“Tidak yu, aku harus bertanggung jawab atas semua ini,” jawabku.

 “Tidak. Cepat kamu pergi Kirman! Cepatlah pergi dari sini! Sebelum ada orang melihatmu.” Yu Darsih memaksa sembari membentak akupun segera meninggalkan rumah yu Darsih

Apa yang akan terjadi besok tidak ada yang bisa menebaknya kejadian yang belum terjadi adalah rahasia Tuhan pemilik alam semesta, begitu juga dengan kematian Busro tak ada yang menyangka kalau yu Darsih harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Setelah menjalani pemeriksaan yang panjang akhirnya yu Darsih dinyatakan bebas dari jeratan hukum ini semua karena ada ust. Sulaiman dapat menyakinkan polisi bahwa yu Darsih hanya membela diri.

“Ust. Barangkali saat ini saya berada di penjara kalau tidak dibantu“  yu Darsih masih nampak kelelahan dengan pemeriksaan yang cukup lama.

“Darsih Allah telah menuntun ku untuk membuka suatu kebenaran yang selama ini tertutup“  yu Darsih diam tak mengerti maksud ucapan ust. Sulaiman

“ Aku tahu kamu bukan pelakunya dan akupun tidak menyalahkan kamu yang berani mengambil resiko“  yu Darsih masih tertunduk diam dengan pikiran yang tak karuan“ tak mungkin aku membuka kejadian ini, Kirman telah menolongku dan aku tidak ingin Kirman masuk penjara “ 

“Apakah kau akan membiarkan mahluk jahat terus menguasai manusia untuk melakukan kejahatan demi kejahatan yang dibungkus dengan kebaikan“   yu Darsih tersentak dengan ucapan Ust.

“Kalau kamu ingin tahu siapa pembunuh Busro sebenarnya besok ajak Kirman Menemuiku malam jumat kliwon pas tengah malam di kebun dekat mushola“  ust. Sulaiman meninggalkan yu Darsih yang masih diam tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan dengan semua ucapan ust. Sulaiman.

***

Malam ini adalah malam Jumat kliwon. Menurut kepercayaan orang yang meyakininya, ini adalah malam keramat. Malam dimana setan, dedemit, genderuwo, dan semacamnya keluar dari alamnya dan masuk ke alam manusia.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, dan suasana sangat sunyi. Aku bersama lek Kasim dan yu Darsih memutuskan untuk pergi ke rumah ust. Sulaiman, malam tidak begitu gelap sinar bulan remang-remang berselap selip di sela-sela pepohonan suasana begitu hening mencekam masing-masing kami dengan pikiran masing-masing tak tahu apa yang akan terjadi.

Assalamualaikum...”  suaraku membuka keheningan menyapa ust. Sulaiman yang telah menunggu.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab ust. Sulaiman sembari melambaikan tangan mengajak kami untuk mendekat.

“Malam ini saya akan menunjukan siapa sebenarnya yang membunuh Darso dan Busro.”  Kami belum mengerti apa yang akan dilakukan ust. Sulaiman dan tidak berani melakukan atau berkata apapun

“Kirman panggil Sriningsih sekarang“ ucap ust. Sulaiman keras menghentakan kami bertiga dan akupun kebingungan apa yang harus aku lakukan

“Cepat Kirman lakukan seperti saat kau ketemu babi dan ular besar“  aku turuti apa yang diinginkan oleh ust. Sulaiman aku pejamkan mata dan membayangkan wajah sriningsih yang begitu ayu, tiba-tiba angin pun berdesir lembut dan muncul Sriningsih dengan senyum khas yang mempesona.

“Kirman miliku tidak boleh ada orang yang menggagunya“ wajah Sriningsih yang Ayu menjadi sinis menatap ust. Sulaiman

“Aku tahu siapa kamu, kau manfaatkan jasad Sriningsih yang telah mati nglayah “  ust. Sulaiman mengatur nafas panjang dengan terus melafal bacaan doa berulang-ulang “Byar-byar” melesat sinar biru kearah tubuh Sriningsih, dari tubuh Sriningsih pun melesat sinar merah “Darr” tubuh ust. Sulaiman dan Sriningsih pun terdorong ke belakang, “ hyat” dengan loncatan kedepan ust.Sulaiman mengalungkan tasbihnya pada leher Sriningsih.

“Kurang ajar kau Sulaiman mengikatku seperti ini” aku kaget suaranya begitu berat dan serak sama sekali bukan suara Sriningsih

“Hey kau calon penghuni neraka akan aku enyahkan kau dari tubuh Sriningsih dan jangan sekali-kali kau mengganggu kaumku karena akupun tidak akan mengganggumu“

“Ha... ha... kau tidak akan mampu membunuhku Sulaiman, aku tidak akan pernah mati sampai kiamat nanti dan kau pada saatnya akan mati“ kami bertiga terus memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya diam tak takjub dengan kejadian diluar nalar, dengan kode tangganya ust. Sulaiman menyuruh kami mendekat.

“Mana pisaunya, Kirman?” Ustad sulaiman menyodorkan tangan untuk meminta pisau Sriningsih. Dengan cepat ustad menyambarnya dan “jleb” pisau itu tertancap pada jasad Sriningsih, cepat sekali kejadian ini berlangsung. Tiba-tiba jasad Sriningsih tergeletak dan kembali lagi menjadi jasad yang telah mati bersamaan dengan itu ada sekelebat bayangan terbang meninggalkan jasad Sriningsih yang tegeletak.

“Kasim, Kirman dan Darsih ketahuilah bahwa jangan sekali – kali kamu lepas dari yang menciptakan kamu dan menguasai dunia ini karena Dialah yang maha kuasa, dekati dengan ibadah dan amal perbuatan jangan kamu kosong hati dan pikiran karena mahluk jahat akan mengisinya” kami semua menunduk mendengarnya ingat semua apa yang telah kami perbuat selama ini, dan Tuhan memberikan pelajaran dengan kejadian ini.

“Sekarang tugas kita menguburkan tubuh Sriningsih layaknya seorang yang baru meninggal” nyatanya  benar, Sriningsih hanyalah jasad yang telah mati dan dimanfaatkan oleh jin jahat.

Alam semesta tempat bersandar dan berteduh dari segala mahluk ciptaan Tuhan yang masing-masing diciptakan untuk menjalin keharmonisan, saling menjaga agar keharmonisan alam ini selalu terjaga, manusia sebagai mahluk yang paling sempurna dijadikan pemimpin oleh Tuhan jangan sekali-kali lepas dari tuntuntan hidup yang digariskan agar tidak terjerumus  dan masuk dalam golongan mahluk jahat yang ingkar dan perusak hati manusia.

Kategori Seni Budaya

Populer